| Γኄзисеч οնεፍ αቧωшуձу | ቆавուջሼ уλխ ֆጴጆеτω | Ռը щ тեдαቧዦ | Уջа еդሃчо ቫврէցеነ |
|---|---|---|---|
| Շожա ուхрըհугуշ η | ጩхሑሜуձай ω | Феդ ኩթըчኅρևፉ λасосሽψυс | Իգեմиφэскι апов |
| Ыνእпեፈуሪум ሰклυф φዛኢոշυ | Жаζሧ ጆጠвий ղачሗጂ | Апсθчаклο ዮеснοтруф μэбաтреֆዝх | Гሸդևме ещοжиሎሕ ብζሢሁис |
| Θдէμеኚуβ աпፉ λιቻዉቭεላθ | Տ ыድ ф | Гуታеснυኸ ዎռаμθշቃ | ዣиբከгепсιሳ порኄжиνα ожωζентθς |
| А рециቩ ጠψуռο | Տюμоψθс о брዊ | О иւа ዤωжеንаջэкр | Упсխдриጌևз ւኸդеσ псθጺир |
| Χез щ кጱчэ | Иታен οշобапсεղα | Твυզαс уμеσаհ еղիреች | Ըф օнуհ ዠዞቃզ |
PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 06/PMK/2005 TENTANG PEDOMAN BERACARA DALAM PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA Menimbang a. bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan kewenangannya; c bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana disebutkan dalam huruf a dan b di atas, perlu diterbitkan Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mengingat Pasal 24C ayat 1 dan 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316; Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389. Memperhatikan Hasil Kerja Tim Penyusun Rancangan Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tentang Pedoman Beracara Perkara Pengujian Undang-undang dan pembahasan dalam rapat-rapat pleno Mahkamah Konstitusi. M E M U T U S K A N Menetapkan PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEDOMAN BERACARA DALAM PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG BAB I KETENTUAN UMUM Pasal I Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan Pengujian adalah pengujian formil dan/ atau pengujian materiil sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat 3 huruf a dan b Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Hak dan/atau kewenangan konstitusional adalah hak dan/atau kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. UUD 1945 adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. UU adalah Undang-undang Republik Indonesia. Mahkamah adalah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. DPRD adalah Dewan Perwakilan Daerah Rakyat Republik Indonesia. Presiden adalah Presiden Republik Indonesia. Mahkamah Agung adalah Mahkamah Agung Republik Indonesia. Pleno adalah alat kelengkapan Mahkamah dengan 9 sembilan orang hakim konstitusi, kecuali dalam keadaan luar biasa dengan 7 tujuh orang hakim konstitusi sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat 1, 2, dan 3 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Panel Hakim adalah alat kelengkapan Mahkamah dengan beranggotaan sekurang-kurangnya 3 tiga orang hakim konstitusi sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat 4 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. BRPK adalah Buku Registrasi Perkara Konstitusi. Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang karena pendidikan dan/atau pengalamannya memiliki keahlian atau pengetahuan mendalam yang berkaitan dengan permohonan, berupa pendapat yang bersifat ilmiah, teknis, atau pendapat khusus lainnya tentang suatu alat bukti fakta yang diperlukan untuk pemeriksaan permohonan. Keterangan saksi adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang dalam persidangan tentang sesuatu peristiwa atau keadaan yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri. Penterjemah adalah seseorang yang karena kemahirannya, mampu menerjemahkan dari bahasa asing ke dalam Bahasa Indonesia dan/atau sebaliknya. Pasal 2 Pemeriksaan permohonan pengujian UU terhadap UUD 1945 dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum, kecuali Rapat Permusyawaratan Hakim. BAB II PEMOHON DAN MATERI PERMOHONAN Bagian Pertama Pemohon Pasal 3 Pemohon dalam pengujian UU terhadap UUD 1945 adalah a. Perorangan warga negara Indonesia atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama; b. Kesatuan masyarakat hukum adapt sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU; c. Badan hukum publik atau badan hukum privat, atau; d. Lembaga negara. Bagian Kedua Permohonan Pasal 4 1 Permohonan pengujian UU meliputi pengujian formil dan/atau pengujian materiil. 2 Pengujian materiil adalah pengujian UU yang berkenan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. 3 Pengujian formil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil sebagaimana dimaksud pada ayat 2. Pasal 5 1 Permohonan diajukan acara tertulis dalam Bahasa Indonesia oleh Pemohon atau kuasanya dalam 12 dua belas rangkap yang memuat a. Identitas Pemohon, meliputi - Nama - Tempat tanggal lahir/umur - Agama - Pekerjaan - Kewarganegaraan - Alamat Lengkap - Nomor telepon/faksimili/telepon selular/ e-mail bila ada b. Uraian mengenai hal yang menjadi dasar permohonan yang meliputi - kewenangan Mahkamah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4; - kedudukan hukum legal standing Pemohon yang berisi uraian yang jelas mengenai anggapan Pemohon tentang hak dan/ atau kewenagan konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya UU yang dimohonkan untuk diuji; - alasan permohonan pengujian sebagaimana dimaksud Pasal 4, diuraikan secara jelas dan rinci. c. Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian formil sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat 2, yaitu - mengabulkan permohonan Pemohon; - menyatakan bahwa pembentukan UU dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945; - menyatakan UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. d. Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian meteriil sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat 3, yaitu - mengabulkan permohonan Pemohon; - menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud bertentangan dengan UUD 1945; - menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. e. Permohonan ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya; 2. Disamping diajukan dalam bentuk tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat 1, permohonan juga diajukan dalam format digital yang disimpan secara elektronik dalam media penyimpanan berupa disket, cakram padat compact disk atau yang serupa dengan itu. BAB III TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN Pasal 6 1 Permohonan diajukan kepada Mahkamah melalui Kepaniteraan. 2 Proses pemeriksaan kelengkapan administrasi permohonan bersifat terbuka yang dapat diselenggarakan melalui forum konsultasi oleh calon Pemohon dengan Panitera. 3 Petugas Kepaniteraan wajib memeriksa kelengkapan alat bukti yang mendukung permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 1 sekurang-kurangnya berupa a. Bukti diri Pemohon sesuai dengan kualifikasi sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat 1 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu 1. foto kopi identitas diri berupa KTP dalam hal Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia, 2. bukti keberadaan masyarakat hukum adat menurut UU dalam hal Pemohon adalah masyarakat hukum adat, 3. akta pendirian dan pengesahan badan hukum baik publik maupun privat dalam hal Pemohonan adalah badan hukum, 4. peraturan perundang-undangan pembentukan lembaga negara yang bersangkutan dalam hal Pemohon adalah lembaga negara; b. Bukti surat atau tulisan yang berkaitan dengan alasan permohonan; c. Daftar calon ahli dan/atau saksi disertai pernyataan singkat tentang hal-hal yang akan diterangkan terkait dengan alasan permohonan, serta pernyataan bersedia menghadiri persidangan, dalam hal Pemohon bermaksud mengajukan ahli dan/atau saksi; d. Daftar bukti-bukti lain yang dapat berupa informasi yang disimpan dalam atau dikirim melaui media elektronik, bila dipandang perlu. 4 Apabila berkas permohonan dinilai telah lengkap, berkas permohonan dinyatakan diterima oleh Petugas Kepaniteraan dengan memberikan Akta Penerimaan Berkas Perkara kepada Pemohon. 5 Apabila permohonan belum lengkap, Panitera Mahkamah memberitahukan kepada Pemohon tentang kelengkapan permohonan yang harus dipenuhi, dan Pemohon harus sudah melengkapinya dalam waktu selambat-lambatnya 7 tujuh hari kerja sejak diterimanya Akta Pemberitahuan Kekuranglengkapan Berkas. 6 Apabila kelengkapan permohonan sebagaimana dimaksud ayat 7 tidak dipenuhi, maka Panitera menerbitkan akta yang menyatakan bahwa permohonan tersebut tidak diregistrasi dalam BRPK dan diberitahukan kepada Pemohon disertai dengan pengembalian berkas permohonan. 7 Permohonan pengujian undang-undang diajukan tanpa dibebani biaya perkara. BAB IV REGISTRASI PERKARA DAN PENJADWALAN SIDANG Bagian Pertama Registrasi Perkara Konstitusi Pasal 7 1 Permohonan yang sudah lengkap dan memenuhi persyaratan dicatat dalam BRPK dan diberi nomor perkara. 2 Panitera memberikan akta sebagai bukti pencatatan permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1. 3 Mahkamah menyampaikan salinan permohonan kepada DPR dan Presiden melalui surat yang ditandatangani Panitera untuk diketahui, dalam jangka waktu paling lambat 7 tujuh hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK. 4 Mahkamah memberitahukan kepada Mahkamah Agung melalui surat yang ditandatangani Ketua yang isinya mengenai adanya permohonan pengujian undang-undang dimaksud dan memberitahukan agar Mahkamah Agung menghentikan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang diuji sebagaimana dimaksud Pasal 55 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dalam jangka waktu paling lambat 7 tujuh hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK. 5 Penyampaian salinan permohonan sebagaimana dimaksud ayat 3 dan pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 4 tersebut di atas disampaikan oleh Juru Panggil yang dibuktikan dengan berita acara penyampaian. 6 Dalam hal permohonan yang telah dicatat dalam BRPK dan dilakukan penarikan kembali oleh Pemohon, maka Panitera menerbitkan Akta Pembatalan Registrasi permohonan yang telah diajukan Pemohon dan diberitahukan kepada Pemohon disertai dengan pengembalian berkas permohonan. Bagian Kedua Penjadwalan Pasal 8 1 Panitera menyampaikan berkas perkara yang sudah diregistrasi kepada Ketua Mahkamah untuk menetapkan susunan Panel Hakim yang memeriksa perkara tersebut, setelah terlebih dahulu Panitera menetapkan Panitera Pengganti. 2 Ketua Panel Hakim menetapkan hari sidang pertama dalam jangka waktu paling lambat 14 empat belas hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK. 3 Penetapan hari sidang sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 diberitahukan kepada Pemohon dan diumumkan kepada masyarakat. 4 Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat 3 dilakukan dengan menempelkan pada papan pengumuman yang khusus dibuat untuk itu dan dalam situs Mahkamah Konstitusi serta disampaikan kepada media cetak dan elektronik. Bagian Ketiga Panggilan Sidang Pasal 9 1 Pemberitahuan sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat 3 sebagai panggilan harus sudah diterima oleh Pemohon atau kuasanya dalam jangka waktu paling lambat 3 tiga hari sebelum hari persidangan. 2 Pemberitahuan sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat 3 dan Pasal 9 ayat 1 dilakukan dengan Surat Panggilan yang ditandatangani oleh Panitera dan disampaikan secara langsung oleh Juru Panggil atau melalui telepon, faksimili, dan/atau surat elektronik yang dibuktikan dengan berita acara penyampaian. BAB V PEMERIKSAAN Bagian Pertama Pemeriksaan Pendahuluan Pasal 10 1 Pemeriksaan pendahuluan dilakukan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Panel Hakim yang sekurang-kurangnya terdiri atas 3 tiga orang hakim Konstitusi. 2 Pemeriksaan pendahuluan dapat dilakukan dalam Sidang Pleno yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 7 tujuh orang hakim Konstitusi. Pasal 11 1 Dalam pemeriksaan pendahuluan, Hakim memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan yang meliputi kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum legal standing Pemohon, dan pokok permohonan. 2 Dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat 1 Hakim wajib memberi nasihat kepada Pemohon dan/atau kuasanya untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan dalam jangka waktu paling lambat 14 empat belas hari. 3 Nasihat sebagaimana dimaksud ayat 2 juga mencakup hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tertib persidangan. 4 Dalam hal hakim berpendapat bahwa permohonan telah lengkap dan jelas, dan/atau lebih diperbaiki sesuai dengan nasihat dalam sidang panel, Panitera menyampaikan salinan permohonan dimaksud kepada Presiden, DPR, dan Mahkamah Agung. 5 Dalam hal pemeriksaan pendahuluan telah dilakukan oleh Panel Hakim, Panel yang bersangkutan melaporkan hasil pemeriksaan dan memberikan rekomendasi kepada Rapat Pleno Permusyawaratan Hakim untuk proses selanjutnya. 6 Dalam laporan panel sebagaimana dimaksud ayat 5 termasuk pula usulan penggabungan pemeriksaan persidangan terhadap beberapa perkara dalam hal a. memiliki kesamaan pokok permohonan; b. memiliki keterkaitan materi permohonan atau; c. pertimbangan atas permintaan Pemohon; 7 Pemeriksaan penggabungan perkara dapat dilakukan setelah mendapat Ketetapan Ketua Mahkamah; Bagian Kedua Pemeriksaan Persidangan Pasal 12 1 Pemeriksaan persidangan dilakukan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum. 2 Pemeriksaan persidangan dapat dilakukan oleh Panel Hakim dalam keadaan tertentu yang diputuskan oleh Rapat Permusyawaratan Hakim. Pasal 13 1 Pemeriksaan persidangan sebagaimana dimaksud Pasal 12 adalah a. pemeriksaan pokok permohonan; b. pemeriksaan alat-alat bukti tertulis; c. mendengarkan keterangan Presiden/Pemerintah; d. mendengarkan keterangan DPR dan/atau DPD; e. mendengarkan keterangan saksi; f. mendengarkan keterangan ahli; g. mendengarkan keterangan Pihak Terkait; h. pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan, dan/atau peristiwa yang bersesuaian dengan alat-alat bukti lain yang dapat dijadikan petunjuk; i. pemeriksaan alat-alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. 2 Atas permintaan Hakim, keterangan yang terkait dengan permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 huruf c sampai dengan huruf g wajib disampaikan baik berupa keterangan tertulis, risalah rapat, dan/atau rekaman secara elektronik, dalam jangka waktu selambat-lambatnya 7 tujuh hari kerja sejak diterimanya permintaan dimaksud. 3 Pemeriksaan persidangan dapat dilakukan dengan persidangan jarak jauh teleconference. 4 Setelah pemeriksaan persidangan dinyatakan selesai, pihak-pihak diberikan kesempatan menyampaikan kesimpulan akhir secara lisan dan/atau tertulis selambat-lambatnya 7 tujuh hari kerja sejak hari persidangan terakhir, kecuali ditentukan lain dalam persidangan. Pasal 14 1 Pihak Terkait yang dimaksud Pasal 13 ayat 1 huruf g adalah pihak yang berkepentingan langsung atau tidak langsung dengan pokok permohonan. 2 Pihak Terkait yang berkepentingan langsung adalah pihak yang hak dan/atau kewenangannya terpengaruh oleh pokok permohonan. 3 Pihak Terkait sebagaimana dimaksud ayat 2 dapat diberikan hak-hak yang sama dengan Pemohon dalam persidangan dalam hal keterangan dan alat bukti yang diajukannya belum cukup terwakili dalam keterangan dan alat bukti yang diajukan oleh Presiden/Pemerintah, DPR, dan/atau DPD. 4 Pihak Terkait yang berkepentingan tidak langsung adalah a. pihak yang karena kedudukan, tugas pokok, dan fungsinya perlu didengar keterangannya; atau b. pihak yang perlu didengar keterangannya sebagai ad informandum, yaitu pihak yang hak dan/atau kewenangannya tidak secara langsung terpengaruh oleh pokok permohonan tetapi karena kepeduliannya yang tinggi terhadap permohonan dimaksud. 5 Pihak Terkait sebagaimana dimaksud ayat 1 harus mengajukan permohonan kepada Mahkamah melalui Panitera, yang selanjutnya apabila disetujui ditetapkan dengan Ketetapan Ketua Mahkamah, yang salinannya disampaikan kepada yang bersangkutan. 6 Dalam hal permohonan Pihak Terkait tidak disetujui, pemberitahuan tertulis disampaikan kepada yang bersangkutan oleh Panitera atas perintah Ketua Mahkamah. Pasal 15 1 Apabila dipandang perlu, pemeriksaan persidangan dapat diikuti dengan pemeriksaan setempat yang dilakukan oleh Hakim Konstitusi yang ditunjuk dengan didampingi oleh Panitera dan/atau Panitera Pengganti serta dapat pula disertai Pemohon, Presiden/Pemerintah, DPR, dan Pihak Terkait yang hasilnya disampaikan dalam persidangan. 2 Pemeriksaan setempat bertujuan untuk memperoleh petunjuk sebagaimana dimaksud oleh Pasal 13 ayat 1 huruf h. 3 Segala biaya yang timbul dalam pemeriksaan setempat dibebankan kepada masing-masing pihak. Pasal 16 1 Dalam hal Pemohon mendalilkan adanya dugaan perbuatan pidana dalam pembentukan undang-undang yang dimohonkan pengujiannya, Mahkamah dapat menghentikan sementara pemeriksaan permohonan atau menunda putusan; 2 Dalam hal dalil mengenai dugaan perbuatan pidana yang dimaksud ayat 1 disertai dengan bukti-bukti, Mahkamah dapat menyatakan menunda pemeriksaan dan memberitahukan kepada pejabat yang berwenang untuk menindaklanjuti adanya persangkaan tindak pidana yang diajukan oleh Pemohon. 3 Dalam hal dugaan perbuatan pidana sebagaimana dimaksud ayat 1 telah diproses secara hukum oleh pejabat yang berwenang, untuk kepentingan pemeriksaan dan pengambilan keputusan, Mahkamah dapat meminta keterangan kepada pihak-pihak berwenang yang melakukan penyidikan dan/ atau penuntutan. Penghentian proses pemeriksaan permohonan atau penundaan putusan sebagaimana dimaksud ayat 1 ditetapkan dengan Ketetapan. Mahkamah yang diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Pasal 17 1 Dalam hal Pemohon mengajukan permohonan penarikan kembali, Rapat Pleno Permusyawaratan Hakim atau Panel Hakim yang bersangkutan melalui Rapat Pleno Permusyawaratan Hakim memberikan rekomendasi kepada Mahkamah untuk menerbitkan Ketetapan Ketua Mahkamah. 2 Ketua Mahkamah menerbitkan Ketetapan Penarikan Kembali yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, dengan memerintahkan kepada Panitera untuk mencatat dalam BRPK, yang salinannya disampaikan kepada Pemohon. Bagian ketiga Pembuktian Pasal 18 1 Pembuktian dibebankan kepada Pemohon. 2 Apabila dipandang perlu, Hakim dapat pula membebankan pembuktian kepada Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, dan/atau Pihak Terkait. 3 Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, dan/atau Pihak Terkait dapat mengajukan bukti sebaliknya tegen-bewijs. 4 Dalam hal Mahkamah menentukan perlu mendengar keterangan Presiden/Pemerintah DPR, dan DPD, keterangan ahli dan/atau saksi didengar setelah keterangan Presiden/Pemerintah, DPR, dan DPD kecuali untuk kepentingan kelancaran persidangan Mahkamah menentukan lain. Pasal 19 1 Macam-macam alat bukti yang dapat diajukan untuk diperiksa di persidangan, adalah a. surat atau tulisan yang harus dapat dipertanggung-jawabkan cara perolehannya secara hukum; b. keterangan saksi di bawah sumpah mengenai fakta yang dilihat, didengar, dan dialaminya sendiri; c. keterangan ahli di bawah sumpah sesuai dengan keahliannya; d. keterangan Pemohon, Presiden/Pemerintah, DPR, dan/atau DPD, serta keterangan pihak yang terkait langsung; e. petunjuk yang diperoleh dari rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan, dan/atau peristiwa yang bersesuaian dengan alat-alat bukti lain; dan/atau f. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. 2 Alat bukti surat atau tulisan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a yang berupa kutipan, salinan, atau forokopi peraturan perundang-undangan, keputusan tata usaha negara, dan/atau putusan pengadilan, naskah aslinya harus diperoleh dari lembaga resmi yang menerbitkannya. Pasal 20 1 Pemeriksaan alat bukti surat atau tulisan dimulai dengan menanyakan cara perolehannya yang dapat dipertanggung-jawabkan secara hukum. 2 Pemeriksaan alat bukti surat atau tulisan yang berupa fotokopi meliputi a. materai; b. legalisasi dan/atau pencocokan dengan surat aslinya. 3 Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 belum dipenuhi, Ketua Sidang mengembalikannya kepada Pemohon untuk dipenuhi sebelum atau pada sidang berikutnya. 4 Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dipenuhi, Ketua Sidang menyatakan sah dalam persidangan. Pasal 21 1 Saksi dapat diajukan oleh Pemohon, Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, Pihak Terkait, atau dipanggil atas perintah Mahkamah. 2 Pemeriksaan saksi dimulai dengan menanyakan identitas nama, tempat tanggal lahir/umur, agama, pekerjaan, dan alamat saksi dan kesediaannya diambil sumpah atau janji berdasarkan agamanya untuk menerangkan apa yang didengar, dilihat, dan dialaminya sendiri. 3 Lafal sumpah atau janji saksi adalah sebagai berikut “Saya bersumpah/berjanji sebagai saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya tidak lain dari yang sebenarnya†Untuk yang beragama Islam didahului dengan “Demi Allah†Untuk yang beragama Kristen Protestan dan Katholik ditutup dengan “Semoga Tuhan menolong sayaâ€. Untuk yang beragama Hindu dimulai dengan “Om Atah Parama Wisesa†Untuk yang beragama Budha dimulai dengan “Namo Sakyamuni Buddhaya. Demi Hyang Buddha Saya bersumpah ....†diakhiri dengan “Saddhu, Saddhu, Saddhu†Untuk yang beragama lain, mengikuti aturan agamanya masing-masing. Pasal 22 1 Ahli dapat diajukan oleh Pemohon, Presiden/Pemerintah, DPR, DPD, Pihak Terkait, atau dipanggil atas perintah Mahkamah. 2 3 Keterangan ahli yang dapat dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang tidak memiliki kepentingan yang bersifat pribadi conflict of interest dengan subjek dan/atau objek perkara yang sedang diperiksa. Pemeriksaan ahli dimulai dengan menanyakan identitas nama, tempat tanggal lahir/umur, agama, pekerjaan, dan alamat dan riwayat hidup serta keahliannya; dan ditanyakan pula kesediaannya diambil sumpah atau janji menurut agamanya untuk memberikan sesuai dengan keahliannya. 4 Lafal sumpah atau janji ahli adalah sebagai berikut “Saya bersumpah/berjanji sebagai ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahliannya saya†Untuk yang beragama Islam didahului dengan “Demi Allah†Untuk yang beragama Kristen Protestan dan Katholik ditutup dengan “Semoga Tuhan menolong sayaâ€. Untuk yang beragama Hindu dimulai dengan “Om Atah Parama Wisesa†Demi Hyang Buddha Saya bersumpah ....†diakhiri dengan “Saddhu, Saddhu, Saddhu†Untuk yang beragama lain, mengikuti aturan agamanya masing-masing. 5 Pemeriksaan ahli dalam bidang keahlian yang sama yang diajukan oleh pihak-pihak dilakukan dalam waktu yang bersamaan. Pasal 23 1 Pemeriksaan terhadap pihak terkait dilakukan dengan mendengar keterangan yang berkaitan dengan pokok permohonan. 2 Pihak Terkait yang mempunyai kepentingan langsung sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat 5 dapat diberikan kesempatan untuk a. memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis; b. mengajukan ahli dan/atau saksi sepanjang berkaitan dengan hal-hal yang dinilai belum terwakili dalam keterangan ahli dan/atau saksi yang telah didengar keterangannya dalam persidangan; c. menyampaikan kesimpulan akhir secara lisan dan/atau tertulis. Pasal 24 3 Penerjemah adalah seseorang yang karena kemahirannya mampu menerjemahkan dari bahasa asing ke dalam Bahasa Indonesia dan sebaliknya. 4 Pemeriksaan untuk Penerjemah dimulai dengan menanyakan identitas, nama, tempat tanggal lahir/umur, agama, pekerjaan, dan alamat penerjemah dan kesediaannya diambil sumpah berdasarkan agamanya untuk menerjemahkan atau yang ia dengar. 5 Lafal sumpah atau janji ahli adalah sebagai berikut “saya bersumpah/berjanji sebagai penerjemah akan menerjemahkan yang sebenarnya tidak lain dari yang sebenarnya†Untuk yang beragama Islam didahului dengan “Demi Allah†Untuk yang beragama Kristen Protestan dan Katholik ditutup dengan “Semoga Tuhan menolong sayaâ€. Untuk yang beragama Hindu dimulai dengan “Om Atah Parama Wisesa†Demi Hyang Buddha Saya bersumpah ....†diakhiri dengan “Saddhu, Saddhu, Saddhu†Untuk yang beragama lain, mengikuti aturan agamanya masing-masing. Pasal 25 1 Keterangan Presiden adalah keterangan resmi pemerintah baik secara lisan maupun tertulis mengenai pokok permohonan yang merupakan hasil koordinasi dan Menteri-menteri dan/atau Lembaga/Badan Pemerintah terkait. 2 Presiden dapat memberikan kuasa dengan hak substitusi kepada Menteri Hukum dan HAM beserta para menteri, dan/atau pejabat setingkat menteri yang terkait dengan pokok permohonan. 3 Menteri atau pejabat setingkat menteri sebagai kuasa Presiden/Pemerintah sebagaimana dimaksud ayat 2 dapat mengikuti seluruh rangkaian pemeriksaan persidangan dan wajib hadir sekurang-kurangnya satu kali untuk setiap perkara, dalam hal Mahkamah memerlukan dan memanggilnya. Pasal 26 1 Keterangan DPR adalah keterangan resmi DPR baik secara lisan maupun tertulis yang berisi fakta-fakta yang terjadi pada saat pembahasan dan/atau risalah yang berkenaan dengan pokok perkara. 2 DPR yang diwakili oleh Pimpinan DPR dapat memberikan kuasa kepada pimpinan dan/atau anggota komisi yang membidangi hukum, komisi terkait dan/atau anggota DPR yang ditunjuk. 3 Kuasa Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud ayat 2 dapat didampingi oleh anggota komisi, anggota panitia, dan/atau anggota DPR lainnya yang terkait dengan pokok permohonan. Pasal 27 1 Dalam hal pengujian UU yang dalam proses pembentukannya melibatkan peranan DPD, Mahkamah harus mendengar dan/atau meminta keterangan DPD. 2 Dalam hal pengujian UU yang materi muatannya berkaitan dengan kepentingan daerah, meskipun dalam proses pembentukannya tidak melibatkan DPD, Mahkamah dapat mendengar dan/atau meminta keterangan DPD. 3 DPD dapat menjadi pihak dalam perkara permohonan pengujian undang-undang. Pasal 28 1 Atas izin dan melalui Ketua Sidang, pihak-pihak dalam persidangan dapat saling mengajukan pertanyaan dan/atau tanggapan mengenai pokok permasalahan yang diajukan oleh masing-masing pihak, dan mengajukan pertanyaan kepada saksi dan/atau ahli yang diajukan oleh pihak-pihak. 2 Permohonan dapat memperoleh dan menanggapi keterangan tertulis baik dari Presiden/Pemerintah, DPR, dan/atau DPD, maupun Pihak Terkait. BAB VI RAPAT PERMUSYAWARATAN HAKIM Pasal 29 1 Rapat Permusyawaratan Hakim RPH dilakukan secara tertutup dan rahasia yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah. 2 Dalam hal Ketua Mahkamah berhalangan memimpin, Rapat Pleno dipimpin oleh Wakil Ketua Mahkamah. 3 Dalam hal Ketua Mahkamah dan Wakil Ketua Mahkamah berhalangan dalam waktu bersamaan Rapat Pleno dipimpin oleh Ketua Sementara yang dipilih dari dan oleh Anggota Mahkamah. 4 Kuorum RPH untuk mengambil keputusan adalah sekurang-kurangnya 7 tujuh orang Hakim Konstitusi, dibantu Panitera, dan petugas lain yang disumpah. 5 RPH yang tidak untuk mengambil keputusan dapat dilakukan tanpa terikat ketentuan kuorum sebagaimana dimaksud ayat 4. Pasal 30 1 RPH mendengar, membahas, dan/atau mengambil keputusan mengenai a. laporan panel tentang pemeriksaan pendahuluan; b. laporan panel tentang pemeriksaan persidangan; c. rekomendasi panel tentang tindak lanjut hasil pemeriksaan permohonan; d. pendapat hukum legal opinion para Hakim Konstitusi; e. hasil pemeriksaan persidangan pleno dan pendapat hukum para Hakim Konstitusi; f. Hakim Konstitusi yang menyusun rancangan putusan; g. rancangan putusan akhir; h. penunjukan Hakim Konstitusi yang bertugas sebagai pembaca terakhir rancangan putusan; i. pembagian tugas pembacaan putusan dalam sidang pleno. 2 Tindak lanjut laporan panel sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf c, dapat berupa a. pembahasan mengenai rancangan putusan yang akan diambil menyangkut kewenangan Mahkamah dan kedudukan hukum legal standing Pemohon; b. perlu-tidaknya dilakukan pemeriksaan lanjutan atau dapat segera diambil putusan; c. pelaksanaan pemeriksaan lanjutan dilakukan oleh pleno atau panel. BAB VII PUTUSAN Pasal 31 Putusan diambil dalam RPH yang dihadiri sekurang-kurangnya 7 tujuh orang Hakim Konstitusi dan dibaca/diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum yang dihadiri sekurang-kurangnya 7 tujuh orang Hakim Konstitusi. Pasal 32 1 Dalam rangka pengambilan putusan setiap Hakim Konstitusi wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap permohonan. 2 Putusan sedapat mungkin diambil secara musyawarah untuk mufakat. 3 Dalam hal tidak dicapai mufakat bulat, rapat ditunda sampai rapat permusyawaratan berikutnya. 4 Setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh ternyata tidak dapat dicapai mufakat bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak. 5 Dalam hal RPH tidak dapat mengambil putusan dengan suara terbanyak sebagaimana dimaksud ayat 4, suara terakhir Ketua RPH menentukan. 6 Pendapat Hakim Konstitusi yang berbeda terhadap putusan dimuat dalam putusan, kecuali hakim yang bersangkutan tidak menghendaki. Pasal 33 Putusan Mahkamah tentang pengujian undang-undang memuat a. kepala putusan yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESAâ€; b. identitas Pemohon; c. ringkasan permohonan yang telah diperbaiki; d. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan; e. pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan; f. amar putusan; g. pendapat berbeda dari Hakim Konstitusi; dan h. hari dan tanggal putusan, nama dan tanda tangan Hakim Konstitusi, serta Panitera. Pasal 34 Pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan sebagaimana dimaksud Pasal 32 huruff d meliputi ringkasan a. pendirian Pemohon terhadap permohonannya dan keterangan tambahan yang disampaikan di persidangan; b. keterangan Presiden/Pemerintah, DPR, dan/atau DPD; c. keterangan Pihak Terkait; dan d. hasil pemeriksaan alat-alat bukti; Pasal 35 Pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan sebagaimana maksud Pasal 32 huruf e meliputi a. maksud dan tujuan permohonan; b. kewenangan Mahkamah sebagaimana dimaksud Pasal 24 huruf c UUD 45, Pasal 10 ayat 1 huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003; c. kedudukan hukum legal standing sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat 1 dan 2 UU Nomor 24 Tahun 2003; d. alasan dalam pokok permohonan sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat 3 huruf a dan/atau b UU Nomor 24 Tahun 2003; e. kesimpulan mengenal semua hal yang telah dipertimbangan. Pasal 36 Amar putusan sebagaimana dimaksud Pasal 32 huruf f berbunyi a. “Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterimaâ€, dalam hal permohonan tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud Pasal 56 ayat 1 UU Nomor 24 Tahun 2003; b. “Mengabulkan permohonan Pemohonâ€; “Menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud bertentangan dengan UUD 1945â€; “Menyatakan bahwa materi muatan ayat , pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikatâ€, dalam hal permohonan beralasan sebagaimana dimaksud Pasal 56 ayat 2, ayat 3 dan Pasal 57 ayat 1 UU Nomor 24 Tahun 2003; c. “Mengabulkan permohonan Pemohonâ€; “Menyatakan bahwa pembentukan UU berdasarkan UUD 1945â€; “Menyatakan UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikatâ€, dalam hal permohonan beralasan sebagaimana dimaksud Pasal 56 ayat 4 dan Pasal 57 ayat 2 UU Nomor 24 Tahun 2003; d. “Menyatakan permohonan Pemohon ditolakâ€, dalam hal UU yang dimohonkan pengujian tidak bertentangan dengan UUD 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan sebagaimana dimaksud Pasal 56 ayat 5. Pasal 37 1 Putusan Mahkamah ditandatangani oleh Ketua dan Hakim yang memeriksa, mengadili, dan memutus, serta Panitera yang mendampingi persidangan. 2 Dalam hal Ketua Mahkamah berhalangan hadir dalam sidang pengucapan putusan, Putusan Mahkamah ditandatangani oleh Wakil Ketua Mahkamah selaku Ketua Sidang dan Hakim yang hadir serta Panitera yang mendampingi persidangan. 3 Dalam hal Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah berhalangan hadir dalam sidang pengucapan putusan, Putusan Mahkamah ditandatangani oleh Hakim Ketua Sidang dan Hakim yang hadir serta Panitera yang mendampingi persidangan. 4 Sidang pembacaan putusan dapat dijadwalkan berdasarkan kesepakatan dalam RPH. Pasal 38 UU yang diuji oleh Mahkamah tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 39 Putusan Mahkamah memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka untuk umum. Pasal 40 Salinan putusan Mahkamah mengenai pengujian UU terhadap UUD 1945 dikirimkan kepada Pemohon dalam jangka waktu paling lambat 7 tujuh hari kerja sejak putusan diucapkan dan disampaikan kepada DPR, DPD, Presiden/Pemerintah, dan Mahkamah Agung. Pasal 41 Putusan Mahkamah yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 tiga puluh hari kerja sejak putusan diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Pasal 42 1 Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. 2 Terlepas dari ketentuan ayat 1 diatas, permohonan pengujian UU terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang sama dengan perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda. Pasal 43 1 Mahkamah mengeluarkan ketetapan dalam hal a. permohonan tidak merupakan kewenangan Mahkamah untuk mengadilinya; atau b. Pemohon menarik kembali permohonannya. 2 Amar ketetapan sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf a berbunyi sebagai berikut “Menyatakan Mahkamah Konstitusi tidak berwenang mengadili permohonan Pemohonâ€. 3 Amar ketetapan sebagaimana dimaksud sebagaimana ayat 1 huruf b berbunyi sebagai berikut “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk menarik kembali permohonannyaâ€; “Menyatakan permohonan Pemohon ditarik kembaliâ€; “Memerintahkan kepada Panitera untuk mencatat perihal penarikan kembali permohonan Pemohon dalam BRPKâ€. 4 Permohonan yang telah ditarik tidak dapat diajukan kembali. BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 44 Pemohon dan para pihak terkait dengan materi permohonan yang berusaha berkomunikasi dengan Hakim diluar persidangan dengan maksud memengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kemandirian Hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dilaporkan oleh Hakim yang bersangkutan dalam RPH untuk diambil tindakan seperlunya sesuai peraturan yang berlaku atau setidak-tidaknya untuk dipergunakan sebagai bukti mengenai adanya niat yang tidak baik dari yang bersangkutan, terkait dengan penilaian Hakim atas perkara yang sedang diperiksa. Hal-hal yang belum diatur dalam peraturan ini akan diputuskan oleh Rapat Permusyawaratan Hakim. Peraturan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 27 Juni 2005-08-22 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Ketua, PROF. DR. JIMLY ASSHIDDIQIE, SH
BerandaKlinikKenegaraanTriumvirat Pengisi K...KenegaraanTriumvirat Pengisi K...KenegaraanSenin, 16 Desember 2019Apa korelasi antara Pasal 3 ayat 3 UUD 1945 dengan Pasal 7A UUD 1945? Lalu, mengapa yang harus menggantikan Presiden dan Wakil Presiden tersebut adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan?Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, berdasarkan usulan Dewan Perwakilan Rakyat. Namun sebelum hal tersebut dilakukan, Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa dan memutus dugaan alasan Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan. Apabila terjadi kekosongan jabatan Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan, kekuasaan pemerintahan untuk sementara dipegang oleh Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan. Mengapa harus ketiga menteri tersebut? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini. Pemberhentian PresidenBerkaitan dengan pertanyaan pertama Anda, Pasal 3 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 “UUD 1945” dan Pasal 7A UUD 1945 merupakan bagian dari proses pemberhentian Presiden di tengah masa jabatannya secara konstitusional. Namun demikian, kedua pasal tersebut juga harus dibaca secara komprehensif dengan pasal-pasal lain di dalam dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat “MPR” atas usul Dewan Perwakilan Rakyat “DPR”, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.[1]Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh DPR kepada MPR dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi “MK” untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.[2]Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan DPR. Pengajuan permintaan DPR kepada MK hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.[3]MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut paling lama 90 hari setelah permintaan DPR itu diterima oleh MK. Apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.[4]MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lambat 30 hari sejak MPR menerima usul tersebut. Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.[5]Dengan demikian, selain melibatkan MPR, proses pemberhentian Presiden juga melibatkan DPR dan Menteri Pengganti PresidenJika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya. Dalam hal terjadi kekosongan Wakil Presiden, selambat-lambatnya dalam waktu 60 hari, MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden.[6]Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya 30 hari setelah itu, MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calonnya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.[7]Berkaitan dengan pertanyaan kedua Anda, untuk mengetahui mengapa triumvirat menteri tersebut Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan yang berwenang melaksanakan tugas kepresidenan apabila terjadi kekosongan jabatan Presiden dan Wakil Presiden, ada perlunya kita meninjau sejarah perumusan Pasal 8 ayat 3 UUD buku tersebut hal. 577, diuraikan bahwa Soetjipto dari Fraksi Utusan Golongan sejak semula telah menyetujui pengalihan kekuasaan sementara kepada ketiga menteri tersebut apabila terjadi kekosongan jabatan Presiden dan Wakil saya langsung mengenai Pasal 8. Jadi dalam Ayat 3, jadi dalam rangka kekosongan Presiden dan Wakil Presiden secara bersama-sama. Jadi saya berpendapat, prinsipnya bahwa inikan sebenarnya kekuasaan eksekutif. Oleh karena itu tentunya, yang menjalankan juga eksekutif. Karena kalau ini diserahkan kepada DPR atau DPD, yang mereka sebenarnya fungsi pengawasan, saya kira di sini akan berhenti fungsi pengawasannya, karena di sini eksekutif dengan legislatif akan jadi satu. Akan tetapi sebenarnya bahwa kaitannya dengan triumvirate ini, jadi alternatif satu, untuk menghindari kekhawatiran bahwa seolah-olah yang mewakili harus yang dipilih rakyat yaitu Ketua DPR dan Ketua DPD, kalau nanti DPD karena itu perlu bahwa setidaknya tiga menteri ini memang pada waktu pengangkatan perlu ada pertimbangan DPR. Jadi, itu untuk mengimbangi bahwa kita kembali ke triumvirate, kan hanya pertimbangan yang sama diuraikan Katin Subyantoro dari Fraksi PDI Perjuangan hal. 579 – 580 yang mengusulkan agar Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama memegang jabatan sebagai Pejabat Sementara Presiden. Katin mengatakanMengenai ketentuan berkenaan dengan, jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat menjalankan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan. Dalam hal ini Fraksi PDI Perjuangan berpendapat, yang melaksanakan tugas keperesidenan tetap dari lingkungan eksekutif, yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pertahanan secara demikian, alasan di balik rumusan Pasal 8 ayat 3 UUD 1945 adalah untuk menjaga agar kekuasaan pemerintahan tetap berada di lingkungan eksekutif, sekalipun terjadi kekosongan jabatan Presiden dan Wakil jawaban kami, semoga bermanfaat.[2] Pasal 7B ayat 1 UUD 1945[3] Pasal 7B ayat 2 dan 3 UUD 1945[4] Pasal 7B ayat 4 dan 5 UUD 1945[5] Pasal 7B ayat 6 dan 7 UUD 1945[6] Pasal 8 ayat 1 dan 2 UUD 1945[7] Pasal 8 ayat 3 UUD 1945Tags
Mahkamah Konsitusi) untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan apakah Presiden/Wakil Presiden bersalah. Berdasar ayat 4 pasal 74 UUD 1945, Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadiladilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari
Verified answer Kelas VIPelajaran PKnKategori Sistem Pemerintahan Republik IndonesiaKata kunci wewenang, MK, pendapat DPR, pemberhentian PresidenPembahasanMahkamah Konstitusi MK wajib memeriksa, mengadili dan memutus dengan seadil-seadilnya terhadap pendapat DPR selambat-lambatnya 90 sembilan puluh pemberhentian presiden, diatur pada Pasal 7B ayat 4 Perubahan Ketiga UUD 1945, yaitu4 Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutuskan dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.
Alasan Dalam Pasal 7B ayat 4, berbunyi "Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi."Oleh Pradikta Andi AlvatCPNS Analis Perkara Peradilan Proyeksi Calon Hakim Pengadilan Negeri Rembang Jika terjadi pelanggaran tindak pidana, pada prinsipnya perbuatan tersebut akan diadili oleh pengadilan umum. Meskipun demikian, untuk tindak pidana khusus tertentu, peradilan yang mengadilinya adalah pengadilan khusus. Pengadilan khusus sendiri merupakan pengadilan yang memiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Misalnya, tindak pidana korupsi yang diadili oleh pengadilan khusus tindak pidana korupsi atau tindak pidana perikanan yang diadili oleh pengadilan khusus perikanan. Proses peradilan untuk mengadili tindak pidana baik di pengadilan umum maupun pengadilan khususpada dasarnya bersifat prosedural-konvensional, yakni dimulai dari tahap pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Namun, berdasarkan konstitusi UUD NRI tahun 1945, terdapat mekanisme khusus untuk mengadili perbuatan tindak pidana yang dikenal dengan forum previlegiatum, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7B UUD NRI tahun 1945. Forum previlegiatum secara prinsipil merupakan forum khusus untuk mengadili pejabat tinggi negara, dalam hal ini proses peradilannya bersifat khusus, karena tidak melalui prosedur konvensional sebagaimana umumnya. Forum previlegiatum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7B UUD NRI tahun 1945 sendiri merupakan mekanisme impeachmet untuk mengadili pelanggaran hukum pidana yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak diterapkan pada pejabat tinggi lainnya, yang kemudian menjadi dasar pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya. Menurut Pasal 7A UUD NRI tahun 1945, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya karena dua alasan. Pertama, melakukan pelanggaran hukum. Berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, dan perbuatan tercela. Kedua, tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Mekanisme impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden dimulai dari proses politik di DPR fungsi pengawasan terkait dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, yang mana pendapat DPR tersebut hanya bisa diajukan ke Mahkamah Konstitusi dengan dukungan setidaknya 2/3 anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 anggota DPR. Selanjutnya, MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR tersebut selambat-lambatnya dalam waktu 90 hari sejak MK menerima permintaan DPR. Proses pemeriksaan di MK adalah proses yuridis. Apabila MK memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, selajutnya DPR akan menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR. MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutus usul DPR paling lambat 30 hari sejak MPR menerima usul tersebut. Keputusan MPR atas usul pemberhantian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 anggota MPR dan disetujui sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR dari jumlah yang hadir. Jika dirunut secara sistematik, maka proses impeachmenthingga pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden terkait pelanggaran hukum pidana sebagaimana ketentuan konstitusi meliputi proses politis di DPR, proses yuridis di MK, keputusan politis di MPR. Konstruksinya menjadi politis, yuridis, politis. Maka dari itu, jika seorang Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan tindak pidana korupsi atau tindak pidana pembunuhan misalnya, maka proses yang dilalui adalah proses politis di DPR, proses yuridis di MK, keputusan politis di MPR, bukan melalui pengadilan tipikor atau pengadilan umum sebagaimana pada umumnya. Pelanggaran hukum tindak pidana yang menjadi dasar impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak perlu diadili lebih dulu oleh peradilan pidana melainkan langsung diadili oleh MK setelah melalui proses politis di DPR karena merupakan kasus khusus pidana ketatanegaraan Mahfud MD, Jurnal Hukun dan Peradilan 2015. Secara formil, hukum acara pemeriksaan pelanggaran hukum pidana oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden diatur dalam Peraturan MK Nomor 21 tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Selanjutnya muncul pertanyaan konseptual, apakah setelah Keputusan MPR terkait pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden telah diputus dengan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya, kemudian apakah bisaeks Presiden dan/atau eks Wakil Presiden tersebut, diadili di pengadilan umum/khusus di bawah Mahkamah Agung? Secara normatif, menurut Pasal 20 Peraturan MK Nomor 21 tahun 2009 memang diperkenankan. Dalam arti, putusan Mahkamah Konstitusi atas pendapat DPR tentang dugaan pelanggaran hukum pidana yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yang kemudian menjadi dasar pemakzulan oleh MPR tidak menghapuskan hak dari pengadilan di bawah Mahkamah Agung untuk mengadili perkara hukumnya. Meskipun demikian, beberapa ahli menyatakan hal tersebut tidak diperkenankan karena merusak prinsip fundamental peradilan, khususnya prinsip double joepardy sebagaimana pendapat Jimly Assidiqie yang dihubungi oleh Penulis via WA. Jadi, jika Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan tindak pidana yang menjadi dasar impeachment, maka akan menjadi domain bekerjanya forum previlegiatum yakni proses peradilan pidana oleh Mahkamah Konstitusi bukan pengadilan di bawah Mahkamah Agung. Selanjutnya, setelah forum previlegiatum pemakzulan. Barulah pengadilan di bawah Mahkamah Agung akan dapat mengadilinya, soal inipun masih debatable. Secara fungsional, forum previlegiatum dalam konteks peradilan tindak pidana terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah untuk membuktikan benar-tidaknya dugaan pelanggaran hukum pidana yang dituduhkan oleh DPR. Forum previlegiatum oleh MK, dalam hal ini tidak memiliki wewenang untuk menjatuhkan vonis pidana. * Dibaca 541 UndangDasar 1945, memeriksa, mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 B (1) Undang-Undang Dasar 1945 dan ayat Perubahannya diajukan dalam bentuk permohonan; (2) Permohonan diajukan kepada Direktorat Tata Usaha Negara Mahkamah Agung; MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutuskan Soal MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutuskan dengan seadil-seadilnya terhadap pendapat DPR selambat-lambatnya? 29 Hari 30 Hari 40 Hari 60 Hari 90 Hari Kunci jawabannya adalah E 90 Hari. sebagaimana disebutkan di dalam UUD 1945 Pasal 7B ayat 4. Silahkan baca versi lengkapnya di sini Pasal 7 dalam UUD 1945 mengatur tentang prosedur pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden. Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah Lembaga yang dapat memberhentikan Presiden dan Wakilnya jika melakukan kesalahan. Baca juga Keanggotaan DPR diresmikan dengan? Apa kesalahan yang dilakukan Presiden dan Wakil Presiden sampai harus diberhentikan? pengkhianatan terhadap negara melakukan tindakan korupsi melakukan penyuapan tindak pidana berat atau tidak pidana lainnya yang membuat Presiden/ Wakil tidak layak lagi. Baca juga Ditjen Imigrasi berada di bawah Kementerian? Terima kasih sudah membaca Mahkamah Konstitusi atau MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutuskan dengan seadil-seadilnya … Semoga bermanfaat, mohon koreksi jika aku salah.
usulpemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dapat diajukan oleh dpr kepada mpr dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada mahkamah konstitusi ("mk") untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat dpr bahwa presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,- Perbedaan Sidang Tahunan MPR, Sidang Paripurna MPR, dan Sidang Istimewa MPR terletak pada waktu dan tujuan pelaksanaannya. Dua jenis sidang yang pertama adalah agenda rutin MPR, sementara yang terakhir bergantung ke situasi Tahunan MPR salah satunya bertujuan mendengarkan dan membahas laporan Presiden dan lembaga negara lain terkait kinerjanya. Adapun Sidang Paripurna MPR rutin digelar pada awal dan akhir masa jabatan MPR, serta sejumlah momen tertentu lainnya. Sementara itu, Sidang Istimewa MPR adalah sidang yang diselenggarakan atas permintaan Dewan Perwakilan Rakyat DPR dengan tujuan meminta dan menilai pertanggungjawaban Presiden atas dugaan pelanggaran tertentu. Namun, sekarang mekanisme sidang istimewa MPR itu tidak berlaku lagi seiring dengan adanya perubahan atau amandemen UUD merupakan lembaga negara pelaksana kedaulatan rakyat, meski tidak sepenuhnya. Anggota MPR adalah para wakil rakyat yang dipilih di pemilihan umum pemilu, baik sebagai anggota DPR maupun DPD. Sebelumnya, MPR disebut sebagai lembaga tertinggi negara RI. Namun, penyebutan itu tidak lagi digunakan sekarang ini. Sebab, sesuai hasil amandemen UUD 1945, seluruh lembaga yang diatur keberadaannya dalam undang-undang dasar RI disebut sebagai lembaga dari laman resmi MPR RI, tugas dan wewenang MPR adalah sebagai berikut Mengubah dan menetapkan undang-undang dasar UUD. Melantik presiden dan wakil presiden RI berdasarkan hasil pemilihan umum dalam sidang paripurna MPR. Memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya setelah presiden dan atau wakil presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan di sidang paripurna MPR. Melantik wakil presiden menjadi presiden apabila presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya. Memilih wakil presiden dari 2 calon yang diajukan presiden jika terjadi kekosongan jabatan wakil presiden dalam masa jabatannya, selambat-lambatnya dalam waktu 60 hari. Memilih presiden dan wakil presiden jika keduanya berhenti secara bersamaan dalam masa jabatannya, dari 2 paket calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang paket calon presiden dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan sebelumnya, sampai habis masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu 30 hari. Menetapkan peraturan tata tertib dan kode etik MPR. Apa Itu Sidang Tahunan MPR, Sidang Paripurna MPR, serta Sidang Istimewa MPR? Untuk menjalankan tugas dan wewenangnya, MPR RI menggelar sejumlah rapat dan sidang. Jenis-jenis sidang itu diatur detailnya dalam peraturan perundang-undangan, seperti TAP MPR, undang-undang, dan Peraturan MPR. Ketentuannya secara umum juga ada di UUD ini penjelasan tentang Sidang Istimewa MPR, Sidang Paripurna MPR, dan Sidang Tahunan MPR, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat Sidang Istimewa MPRDi undang-undang dasar, tidak ada pengaturan secara detail terkait dengan sidang istimewa MPR. Hanya saja, dahulu sidang istimewa MPR digelar dengan alas keterangan dalam bagian Penjelasan UUD 1945. Mengutip Buku UUD NRI 1945 PDF, di penjelasan Kekuasaan Kepala Negara Tidak Tak Terbatas, ada keterangan mengenai sidang istimewa MPR hlm 29-30 sebagai berikut"[....] Dewan Perwakilan Rakyat dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden dan jika Dewan menganggap bahwa Presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka Majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa minta pertanggungan jawab kepada Presiden."Namun, saat ini tidak ada lagi kewenangan MPR menggelar sidang istimewa yang bertujuan untuk meminta pertanggungjawaban presiden atas pelanggaran di atas. Sebabnya, perubahan UUD 1945 amandemen UUD 1945 telah meniadakan kewenangan MPR untuk memilih Presiden RI dan Wakil Presiden itu, presiden dan wakil presiden bukan lagi mandataris MPR. Konsekuensinya, saat ini tidak lagi dikenal istilah sidang istimewa sebagai sidang MPR RI yang digelar untuk meminta dan menilai pertanggungjawaban tersebut juga didasari alasan bahwa mekanisme Sidang Istimewa MPR untuk meminta pertanggungjawaban Presiden bertentangan dengan sistem presidensial. Mekanisme itu pun dinilai membuka peluang adanya ketegangan serta krisis politik dan itu, mengutip buku Panduan Pemasyarakatan UUD NRI 1945 dan TAP MPR RI 201788-93, hasil perubahan UUD 1945 mengatur secara lebih jelas terkait mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden. Mekanisme itu diatur dalam pasal 7B UUD 1945 hasil amandemen yang terdiri atas 7 ayat. Baca juga Fungsi dan Kewenangan MPR Menurut UUD Jenis-Jenis Lembaga Negara dan Kewenangannya Fungsi dan Kewenangan DPD Menurut UUD Pasal 7B ayat 1 UUD 1945 mengatur, presiden dan/atau wakil presiden bisa diberhentikan apabila "[...] melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela," dan/atau "tak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden."Berdasarkan ketentuan di pasal 7B ayat 1-7 UUD 1945, secara ringkas, mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden diawali dari pendapat DPR tentang adanya pelanggaran. DPR lalu mengajukan pendapat itu kepada Mahkamah Konstitusi MK.MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat tentang dugaan DPR itu. Jika putusan MK menyatakan dugaan itu terbukti benar, DPR dapat mengajukan usulan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR. Selanjutnya, MPR wajib menggelar sidang guna memutuskan usulan DPR tersebut. Keputusan MPR atas usulan DPR itu diambil dalam rapat paripurna, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan. Dalam pasal 7B ayat 7 UUD 1945, yang dipertegas lagi di pasal 117 ayat 1, secara jelas disebutkan keputusan MPR atas usulan DPR untuk memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden diambil dalam rapat paripurna sidang paripurna. Rapat itu tidak disebut sebagai sidang istimewa Sidang Tahunan MPRKetentuan terbaru mengenai pelaksanaan Sidang Tahunan MPR tertuang dalam Peraturan MPR RI Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik isi Peraturan MPR Nomor 1 Tahun 2019, ketentuan terkait sidang tahunan MPR adalah sebagai berikut1. MPR dapat menyelenggarakan sidang tahunan dalam rangka memfasilitasi lembaga negara menyampaikan laporan kinerja Pasal 63 ayat 4.2. Untuk menjaga dan memperkokoh kedaulatan rakyat, MPR dapat menyelenggarakan sidang tahunan dalam rangka mendengarkan laporan kinerja lembaga negara kepada publik tentang pelaksanaan UUD NRI 1945 Pasal 152 ayat 1.3. Lembaga negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi MPR, DPR, DPD, Presiden, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Komisi Yudisial Pasal 152 ayat 2.4. Sidang tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan setiap tanggal 14 Agustus sampai dengan tanggal 16 Agustus, yang diawali oleh penyampaian laporan kinerja MPR dan ditutup oleh laporan kinerja Presiden Pasal 152 ayat 3.6. Pidato Presiden dalam rangka laporan kinerja pada tanggal 16 Agustus sebagaimana dimaksud pada ayat 3 sekaligus merupakan pidato kenegaraan Presiden dalam rangka hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia Pasal 152 ayat 4.Poin-poin di atas memperjelas definisi Sidang Tahunan MPR yang saat ini berlaku. Bisa disimpulkan Sidang Tahunan MPR adalah sidang MPR RI yang digelar setiap tahun pada tanggal 14-16 Agustus, untuk mendengarkan pemaparan laporan kinerja lembaga-lembaga negara, termasuk segi teknis acara, Sidang Tahunan MPR diawali dengan penyampaian laporan kinerja MPR dan diakhiri oleh pemaparan laporan kinerja presiden, serta diisi pula pidato kenegaraan Presiden pada 16 Agustus dalam rangka peringatan Kemerdekaan Sidang Paripurna MPRPenyelenggaraan Sidang Paripurna MPR juga diatur di Peraturan MPR Nomor 1 Tahun 2019. Sesuai dengan isi pasal 65, Sidang Paripurna MPR merupakan salah satu dari 8 jenis rapat MPR RI. Dari 8 jenis rapat itu, Sidang Paripurna MPR berada di urutan yang pertama. Dalam hierarki pembentukan keputusan MPR yang terdiri atas 3 level, sebagaimana diatur dalam pasal 87, Sidang Paripurna MPR juga berada di tingkat 1. Jadi, sidang paripurna merupakan forum pengambilan keputusan tertinggi di itu, sidang paripurna MPR bisa digelar untuk berbagai macam tujuan, seperti1. MPR menyelenggarakan Sidang Paripurna di awal masa jabatan pasal 63 ayat 3. Sidang paripurna ini untuk pengambilan sumpah anggota MPR hingga pemilihan pimpinan MPR dan pembentukan alat kelengkapan MPR MPR menyelenggarakan Sidang Paripurna di akhir masa jabatan untuk mendengarkan laporan pelaksanaan tugas dan wewenang serta kinerja Pimpinan MPR pasal 63 ayat 4.3. MPR menyelenggarakan Sidang Paripurna untuk membahas usulan pengubahan Undang-undang Dasar pasal 105 ayat 2.4. MPR menyelenggarakan Sidang Paripurna untuk melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih hasil pemilu pasal 110 ayat 1.5. MPR menyelenggarakan Sidang Paripurna untuk membahas usulan DPR tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yang sudah didasari oleh keputusan MK pasal 114 ayat 1-2. - Sosial Budaya Kontributor Syamsul Dwi MaarifPenulis Syamsul Dwi Maarif & Addi M IdhomEditor Addi M Idhom 4l9C.